Nabi Nuh AS diutus Allah pada seribu kedua setelah turunnya Adam ke bumi. Ketika itu, kemaksiatan tersebar merajalela di kaum beliau. Mereka terang-terangan kafir, fasik, dan bermaksiat. Mereka melewati batas dan tersesat dengan kesesatan yang nyata.
Tidak ada
nabi diantara para nabi yang mendapatkan perlakuan jahat dari kaumnya seperti
yang dialami Nabi Nuh dari kaumnya. Mereka masuk ke rumah Nabi Nuh kemudian
mereka mencekik beliau dan membiarkan beliau duduk dalam kesulitan.
Mereka
memukul beliau di tempat-tempat pertemuan dan mengusirnya. Tapi Nabi Nuh tidak
membalas perlakuan kaumnya malah mendoakan “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena
mereka tidak tahu. Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.”
Jika salah
seorang dari kaum Nabi Nuh telah dekat ajalya dan hendak meninggal dunia, ia
berwasiat kepada anak-anak keturunannya dengan berkata,”Berhati-hatilah
terhadap orang gila ini (Nabi Nuh), karena ayahku pernah berkata kepadaku bahwa
kebinasaan manusia karena tangan orang ini.”
Lebih celaka
lagi, istri Nabi Nuh sendiri bergabung kepada kaum pembangkang dan pendusta. Ia
berjalan bersama rombongan orang-orang kafir. Istri Nabi Nuh bernama Wailah.
Ada lagi yang mengatakan, namanya Walighah.
Jika salah
seorang dari kaum Nabi Nuh beriman, bergabung ke dalam kafilah iman dan cahaya,
istri Nabi Nuh pergi kepada tokoh kaumnya agar mereka menyiksa orang yang
bersangkutan, melarang beriman, dan menyuruh keluar dari agama nabi Nuh.
Nabi Nuh AS
hidup selama 950 tahun di kaumnya guna mengajak mereka kepada Allah SWT di
setiap waktu. Zaman silih berganti namun mereka tetap tidak memenuhi ajakan
beliau, hingga tiga zaman berlalu pada mereka tapi mereka tetap pada
kemaksiatan.
Nabi Nuh
mendapatkan pendustaan dan penolakan luar biasa dari kaum beliau, padahal
beliau menggunakan berbagai sarana untuk mendakwahi mereka. Al Qur’an Al Karim
menjelaskan bahwa Nabi Nuh hidup di kaumnya lama sekali sebagai dai, namun
hanya sedikit yang merespon dakwah beliau.
Istri Nabi
Nuh terlibat dalam kebohongan dan kedustaan kaumnya yang pembangkang dan kafir.
Kendati Nabi Nuh telah mengancam istri dan kaum beliau dengan azab Allah.
Ia berkata
pada suatu hari kepada Nabi Nuh AS yang sedang dalam perjalanan dakwah kepada
Allah, “Hai Nuh, kenapa Tuhanmu tidak menolongmu?”
Nabi Nuh
menjawab, “Ya, Tuhanku akan menolongku.”
Istri Nabi
Nuh berkata dengan nada mengejek, “Kapan Tuhan menolongmu?”
Nabi Nuh
menjawab, “Jika Tungku-tungku beterbangan.”
Istri Nabi
Nuh langsung keluar menemui kaumnya dan berkata kepada mereka, “Hai kaumku,
demi Allah. Nabi Nuh telah gila. Ia mengaku Tuhannya akan menolongnya ketika
tungku-tungku berterbangan.”
Kontan,
kaumnya meningkatkan penyiksaan terhadap Nabi Nuh, memukul, melukai,
mempersempit ruang gerak beliau. Pada suatu hari, Ketika Nabi Nuh sedang sujud,
tiba-tiba seseorang dari kaumnya melewati beliau dengan membawa cucu
dipundaknya.
Kakek tersebut menasehati cucunya, “Cucuku, orang tua pendusta
inilah yang mengajak kita kepada menyembabh Tuhan yang tidak kita kenal dan
memberi ancaman tanpa batas kepada kita, oleh karena itu, jauhilah dia, jika
tidak, ia akan menyesatkanmu.”
Sang cucu
berkata, “Jika orang ini dlam keadaan seperti itu, kenapa kalian membiarkannya
hidup hingga sekarang?”
Sang kakek
berkata, “Apa yang harus kita kerjakan terhadap dia?”
Sang cucu
berkata, “Turunkanlah aku, nanti engkau melihat apa yang aku kerjakan
terhadapnya.”
Sang kakek
menurunkan cucunya yang kemudian cucu itu mengambil batu dan memukulkannya ke
kepala Nabi Nuh hinggan terluka.
Nabi Nuh
memulai pembuatan perahu dibawah perintah Allah ta’ala dan wahyu-Nya. Untuk
itu, beliau membuat persiapan dan melaksanakan tugas Rabbaniyah. Istri Nabi Nuh
melihat beliau mengangkut kayu-kayu dan membuat kayu-kayu tersebut menjadi
perahu. Tapi pembuatan perahu tersebut tidak dekat denga laut atau sungai besar
yang membuat istri nabi Nuh terheran-heran tidak mengerti.
Ia bertanya
dengan bingung, “Hai Nuh, engkau akan membuat apa dengan kayu-kayu ini?”
Nabi Nuh
menjawab, “Aku akan membuat perahu untuk menyelamatkan diriku dan orang-orang
yang beriman kepadaku jika keputusan Allah datang.”
Istri nabi
Nuh berkata dengan mengejek, “Mana air tempat berlayar perahumu? Aku pikir
engkau telah gila atau mendaptkan kemarhan tuhan-tuhan. Apakah masuk akal
perahu bisa jalan di tanah kering?”
Istri Nabi
Nuh melanjutkan, “Disini tidak ada air. Engkau tidak bisa memindahkan perahu
ini ke laut atau sungai besar.”
Kaumnya juga
ikut menghina setiap kali melihat beliau menyelesaikan salah satu bagian dari
pembuatan perahu.
Mereka
berkata kepada beliau dengan mengejek dan tertawa-tawa, “Hai Nuh, setelah
menjadi Nabi, engkau kini menjadi tukang kayu. Ini sesuatu yang sangat lucu.”
Mereka sangat
keterlaluan dlaam melecehkan Nabi Nuh hingga mereka berkata, “Hai Nuh, jika
engkau benar dalam dakwahmu, Tuhanmu yang pernah engkau jelaskan kepada kami
dan engkau mengajak kami kepada-Nya pasti membantumu dalam pembuatan perahu ini
dan tidak menyusahkanmu dengan usaha yang berat ini. Hai Nuh, tidakkah engkau
lihat bahwa ini puncak kebodohan?”
Perahu
selesai dibuat, tibalah keputusan Allah Ta’ala membuka pintu-pintu langit
dengan air hujan deras, bumi memancarkan air dan tungku-tungku mulai
berterbangan. Nabi Nuh bersama kaum mukminin naik ke perahu disertai pasangan
setiap hewan.
Perahu Nabi
Nuh meninggi diatas air, gelombang semakin tinggi menutup bumi. Bumi tidak
terlihat selama banjir terjadi, karena air meninggi diatas puncak gunung yang
tinggi menjulang.
Istri nabi
Nuh tenggelam, krena ia tidak naik bersama kaum mukminin. Ia menduga rumahnya
bisa melindunginya dari air banjir, tapi pad hari tersebut, tidak ada pelindung
kecuali Allah Ta’ala.
Ketika Nabi
Nuh melihat anak beliau, Kan’an didekat perahu karen amendengar seruan, beliau
ingin menyelamatkannya dan berprasangka baik bahwa anaknya adalah seorang
mukmin.
“Hai anakku,
naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang
yang kafir.” (Hud;42)
Sang anak
berkata:
“Aku akan
mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah.” (Hud;43)
Nabi Nuh
berkata kepada anaknya:
“Tidak ada
yang melindungi hari ini dari adzab Allah selain Allah (saja) Yang Maha
Penyayang.” (Hud;43)
Mereka yang
berada diatas perahu dianatara ombak besar selamat. Selagi Allah menjanjikan
mereka selamat, mak tidak ada ketakutan pada mereka dan mereka juga tidak
bersedih hati.